Bila dibicarakan soal politik, maka sebagai orang yang masih banyak
lengket kejujuranya, selalu merinding dan akan memberikan pandangan yang
konotasinya negatif. Marilah kita kini mengupas mengapa hal politik itu
sudah menjadi suatu kata yang isinya tidak menimbulkan ke-“nyamanan”.
Selalu akan terasa adanya manipulasi dan mencari pembenaran untuk
dipergunakan sebagai kasarnya ‘menipu’ orang awam yang sebagian besar
merupakan intinya negara, karena dianggap sebagai hanya pion-pion saja
didalam percaturan kekuasaan.
Mengapakah kok bisa berkonotasi seperti itu? Banyak diantara kita
sudah tentu dapat menceritakan pengalamanya, bila telah memilih
seseorang yang dipercayai benar sebagai wakil di dalam yang dinamakan
Dewan Perwakilan Rakyat, baik di pusat maupun di daerah yang pada
akhirnya tidak sesuai dengan harapanya. Hasil pilihanya selalu ‘m e l e s
e t’ dan memberikan kekecewaan, tapi tidak mampu berbuat banyak, selain
menyuarakan keluh kesahnya ke media masa atau sama sekali tidak.
Sekalipun demikian, adanya ‘k r i t i k a n’ yang bertubi-tubi
dilontarkan yang menyangkut mereka yang terpilih sebagai wakil rakyat,
sekalipun dibaca oleh mereka, tetap saja tidak digubris sama sekali,
bahkan yang sedikit vokal disingkirkan seperti almarhum Munir dan masih
banyak yang seperti itu terjadi pada masanya Orde Baru. Apakah lalu ada
pemikiran, bahwa untuk menyelamatkan diri dari kritikan tersebut, cukup
menyingkirkan orang yang paling ‘b e r a n i’ mengeluarkan suaranya?
Mereka yang berduit gampang sekali menunjuk seorang yang haus uang
untuk melaksanakan ‘penyingkiran’ alias ‘pembunuhan’. Dengan
pengertian, bahwa ‘Otak’ yang menjadi biang keladi itu diharapkan akan
‘b e b a s’ dari hukuman, bukan? Contoh-contoh untuk itu banyak sekali
terjadi, baik di dalam maupun di luar negeri. Kemudian terjadi
penuntutan oleh keluarga yang telah disingkirkan, tapi biasanya tidak
pernah memuaskan hasil keputusanya oleh lembaga pengadilan karena telah
ada permainan manipulasi dari atasan.
Pengacara-pengacara yang lihai dengan lidahnya mencari-cari ketentuan
pasal-pasal di dalam buku-buku hukum dan melaksanakan ’pemutar-balikan’
dari pengertian yang tercantum di dalam pasal-pasal hukum tersebut,
sehingga yang dituduh menjadi bebas atau paling tidak diperingan di
dalam menerima hukumanya.
Sering juga terjadi salah penudingan, karena yang menangkap, yaitu
polisi atau badan intel lainya berbuat kasar, memukuli dan lain
sebagainya yang mengakibatkan yang dituding tak tahan menderita dan asal
mengaku saja. Polisi bangga karena dianggap telah berhasil
mengungkapkan suatu perkara yang sulit dibongkar. Disini TIDAK digunakan
suatu kepekaan intuitif yang selalu benar. Apakah artinya ‘s a t u’
orang yang dikorbankan alias di-‘kambing hitam’-kan dari sekian
banyaknya penduduk, bukan demikian pikiranya? Hal itu sudah tentu
didasarkan atas suatu ‘a n a l i s a’ serta perhitungan dengan
manipulasi yang diperlukan untuk pembenaran sesuatu yang terjadi.
Disinilah ‘u n s u r k e j u j u r a n’ menjadi sorotan dan
pantauan dari HTBA, bila para pembaca masih ingat akan hal itu.
Bagaimana pun, suatu saat kepalsuan dan penipuan fakta-fakta akan ‘t o
h’ terbuka lebar, tetapi bagi yang tertuduh sudah terlambat. Orang itu
sudah menderita di penjara atas sesuatu yang tidak benar atau yang tidak
dilakukanya karena di-putar balikan kejadianya! Dia kehilangan
segalanya, martabat baik, kehormatan, harta dan keluarga. Bahwa mereka
yang berkuasa akan menutupi suatu kesalahan, sudah pasti dapat
diharapkan, karena hal itu menyangkut ‘g e n g s i’ dari nama mereka
untuk dapat menghindarkan diri dari ‘r a s a m a l u’ beserta jatuhnya
nama mereka. Bahwa yang berkuasa pasti ‘b e n a r’ akan selalu
merupakan ‘motto’ yang akan dipertahankan dengan segala cara yang
dihalalkan.
Hal seperti itu sering terjadi di dalam percaturan politik dimana
saja. Hanya hal ‘subyektif-lah’ yang dapat diandalkan sebagai kebalikan
dari arti yang bernuansa negatif seperti itu. Kini FBI yang termashur di
Amerika itu, telah banyak menggunakan unsur ‘S p i r i t u a l
(subyektif)’ atau orang-orang yang kewaskitaanya tinggi untuk
mendapatkan penyelesian dari hal ‘k r i m i n a l i t a s’ yang sangat
sulit dibuktikan.
Bahkan yang sudah kadaluwarsa pun masih dapat diungkapkan dengan
tuntas. Bagaimana dengan kita? Disana mereka yang berjasa di dalam hal
ini menjadi dikenal namanya dan akan selalu terlindunmgi oleh ‘G e l e m
b u n g V i b r a s i’ dari pantauan HTBA. Hal ini karena memang yang
<positif> akan selalu diatasnya yang negatif. Apakah hal ini
masih diragukan oleh para pembaca?
Menurut penyelidikan kejiwaan seseorang yang akan menjadi orang-orang
nomor satu di suatu Negara, ditemukan unsur-unsur yang diharapkan untuk
selanjutnya menjadi patokan didalam memilih seorang pemimpin yang akan
mengelola suatu pemerintahan Negara.
Mereka harus mempunyai riwayat hidup ‘t a n p a c a c a t’ dalam
arti kata yang selengkap-lengkapnya. Salah satu unsur yang dominan di
dalam hal ini adalah k e j u j u r a n a b s o l u t yang dapat
bertahan untuk selamanya diantara gelombang-gelombang yang bernuansa
negatif yang berada pada lingkunganya. Harus mempunyai k e p e k a a n
i n t u i t i f, kewaskitaan, sikap ‘Low profile’, tegas tapi sabar,
ulet dan konsisten, berdedikasi pada aspirasi rakyat, dan selalu ada
hubungan dengan informasi subyektif yang menjadi pedoman di dalam
melaksanakan ‘verifikasi’ dari segala bentiuk informasi yang berada pada
keterbatasan r u a n g dan w a k t u.
Ini semua akan menempatkan individu seperti itu pada kategori orang
yang ‘S e m p u r n a’ menurut Ciptaan-NYA dan sudah pasti akan selalu
mendapatkan bimbingan total di dalam pelaksanaan ‘M i s i’-nya bagi
kesejahteraan orang banyak. Ia akan mampu sekali menyelesaiakn berbagai
bentuk masalah serta menguranginya dengan telak dan tidak sebaliknya,
bukan?(Ijs)
H.Rd.Lasmono Abdulrify Dyar, Dipl.Sys.Ing., Ph.D.
Lecturer dan Director/Coordinator, Indonesian Territory
Silva International Incorporation of The Silva Method,
Laredo - Texas - United States of America.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar