7/25/2013

Apakah Pemimpin Sempurna Dapat Kita Harapkan Pada Masa Lima Tahun Mendatang?

Para pembaca kolom ‘RW02JB’ yang penulis hormati. Indonesia kini berada pada titik persimpangan di dalam menentukan NASIB-nya yang masih akan terlibat dalam nuansa masa lampau atau akan segera berada diatas angin? Sebagai salah satu rakyat JELATA, kita masih ada rasa prihatin terhadap bekas para pimpinan yang sedang diberi kekuasaan pada masa orde baru.


Mereka telah terbuai ke dalam nuansa kenegatifan, disebabkan oleh kelemahan dari pimpinan teratas yang memberikan peluang untuk berbuat korrup, yang di mata orang banyak yang masih mempunyai perasaan jujur tak dapat dibenarkan. Hal ini sudah tentu ada terkecualian, seperti yang ditunjukan oleh Bapak Presiden kini, Bambang Soesilo Yoedoyono serta beberapa orang pembantunya yang masih termasuk bersih. Beliau sedang mencuat namanya sebagai seseorang yang jujur, namun berada pada posisi kepepet diantara oknum-oknum lingkungan yang masih saja tak ada kejujuran.

Hanya saja, karena nuansa lingkungan masih belum bersih betul, maka timbulnya masalah masih saja lebih banyak dari pada yang dapat diselesaikan. Demikian pula dengan Presiden Obama yang masih menghadapi kritikan dari mereka yang dikalahkan di dalam pemilihan presiden dan tak dapat menerima kekalahan dengan lapang dada alias “sportifitas”. Mereka akan tetap berusaha membenarkan kekalahan mereka itu, tapi hasilnya T O H akan tetap negatif. Tapi, penulis percaya bahwa kini telah tiba saatnya untuk berbenah diri dari noda-noda masa lampau yang dipimpin oleh Bush dan setaranya.

Kita mengalami pergantian presiden terlalu cepat, mulai dari Habibi, Gusdur, Megawati dan SBY. Didalam masa jabatan SBY sudah terasa adanya usaha yang gigih untuk mendobrak 'tong setanya' KKN. Sekalipun hal itu masih terasa kurang gencar, karena (saking) begitu kuatnya nuansa negatif melanda kepimpinan Indonesia. Mereka seakan ingin mengembalikan suasana zaman orde baru, dengan kekuasaan absolut atau sama dengan o t o k r a s i. Memang kita harus sabar dan terus saja melaksanakan tekanan kita untuk menyelesaikan hal KKN tersebut, yang telah dialami selama 32 tahun. Kerjaan SBY tidak mudah, kita ketahui hal itu dan harus mendukung setiap perubahan yang beliau canangkan. Asal saja beliau sendiri tidak terlalu lemah dan mengadakan konsesi dengan mereka dari unsur orde baru yang ingin berkuasa kembali dengan dalih sudah merasa menyesal dengan keterlibatanya pada masa lampau.

Memang, masa lalu kelihatan maju, tapi pada kondisi SEMU, karena didasarkan atas “h u t a n g” yang berkelebihan yang akhirnya mengarah kepada penggunaan berupa  p e n y e l e w e n g a n  perorangan. Mereka sudah tentu dengan melaksanakan pembersihan uang atau ‘money laundry’, mengharapkan adanya pengampunan dari YME. Menurut penullis hal itu tidak akan semudah ‘membalikan telapak tangan’, dikatakan orang.

Bila hal seperti itu bisa mudah seperti yang dikemukakan tadi, maka nuansa ke-positif-an tidak akan bisa timbul dengan tuntas dan leluasa, karena himpitan noda negatifnya terlalu besar dan berat! Apakah diantara kita yang tak pernah ikut-ikutan tidak merasa gemas untuk menyudutkan mereka yang masih saja mengikuti jejak lama? Apakah harus terjadi suatu revolusi seperti di Perancis sehingga terjadi renessance? Memang hal seperti itu termasuk penyelesaian yang bukan elegan dan spiritual. Tapi nyatanya juga tak dapat diselesaikan melalui tindakan V e r b a l dan F i s i k Dapatkah para pembaca merasakan hal itu?

Kalau masih berharap bahwa tindakan penyelesaian secara obyektif dapat digunakan di dalam penyelesaian masalah-masalah dari masa lampau, kita terperangkap di dalam teknologi kecanggihan fisik dan bukan mental. Memang didalam kemajuan berbagai macam inovasi fisik, maka yang diutamakan adalah bentuknya sesuatu yang fisik nan indah. yang dapat memanjakan dan memberikan gairah pada diri manusia.

Kita akan kehilangan kemampuan untuk menggunakan k e k u a t a n  di dalam diri manusia itu sendiri yang sifatnya adalah subyektif, mengutamakan cetusan serta penerimaan informasi dari dimensi tersebut. Bisakah uraian seperti ini dapat merangsang pikiran para pembaca? Bila tidak dapat menimbulkan suatu “k e p e r c a y a a n” mendalam akan adanya kemungkinan perubahan besar melalui penggunaan fungsi Otak bagian Kanan, maka mustahil noda-noda  N e g a t i f dapat membendung suatu kebiasaan negatif lama yang telah terekam didalam benak kebanyakan diantara kita.

Kita mengetahui dari banyak pengalaman, bahwa merubah perilaku diri tidak mudah dilaksanakan, bila tiada NIAT TULUS dan KUAT yang mendorong perubahan seperti itu, bukan begitu kenyataanya? Kapankah kita dapat menyadari hal itu dengan “t e l a k”? Kalau diri sendiri masih belum terubah secara total, bagaimana lalu dapat mengamalkan dan mempengaruhkan kemampuan tersebut  kepada lingkungan. Efeknya tidak akan ketara dan hal perekaman unsur-unsur kenegatifan akan terus saja berjalan dengan leluasa dengan akibat timbulnya masalah-masalah yang akan  s u l i t  diselesaikan.

Bahwa suatu masalah yang tak terselesaikan akan menimbulkan kondisi  “s t r e s” karena menjadi  k e p e n u h a n  sudah PASTI akan terjadi. Hanya saja, karena hal seperti itu terjadi dengan arus yang terus-menerus, maka kita dihadapkan pada suatu ‘k e b i a s a a n yang berkembang menjadi “k e b u d a y a a n”. Hal seperti inilah yang mau-tidak mau harus kita sadari dan waspadai seumur hidup. Pemeliharaanya tergantung pada banyaknya praktek positif yang berlawanan dengan perilaku yang negatif dan merugikan.

Ada yang menyatakan, bahwa ngomong itu lebih mudah dari melaksanakan tindakanya. Memang benar seperti itu, tapi, bukankah hal hasilnya yang menguntungkan di dalam segala hal, akan dapat merangsang untuk mencoba berbuat di dalam pelaksanaanya? Banyak kejadian yang mendukung gagasan ini dan tak dapat ditanggapi dengan perasaan “r a g u”, karena hal ini mempunyai arti yang sangat merugikan segala bentuk niat serta tindakan kita ke suatu arah yang jauh lebih baik serta sempurna.

Suatu lingkungan yang sudah dirusak dengan noda kenegatifan, dengan suatu system pelajaran “s u b y e k t i f” kini membuktikan adanya kenyataan, bahwa menemukan diri kita yang paling dalam (mendasar) akan merupakan pondasi kokoh untuk dapat menanggulangi banyak masalah yang telah ditimbulkan oleh keterbatasan dari fungsinya Otak bagian Kiri.


H.Rd.Lasmono Abdulrify Dyar, Dipl.Sys.Ing., Ph.D.
Lecturer dan Director/Coordinator, Indonesian Territory
Silva International Incorporation of The Silva Method,
Laredo - Texas - United States of America.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar