Ada
tiga hal yang apabila dilakukan akan dilindungi Allah dalam
pemeliharaan-Nya,ditaburi Rahmat-Nya dan dimasukkan ke dalam
syurga-Nya,yaitu apabila diberi,ia berterima kasih,apabila berkuasa ia
suka memaafkan dan apabila marah ia menahan diri (mampu menguasai diri). Hadits Riwayat Hakim dan Ibnu Hibban
Kutipan
hadist di atas adalah cermin dari seseorang yang dalam istilah
psikologi pendidikan dapat disebut sebagai seseorang yang mempunyai
kecerdasan emosional.Ia mampu berinteraksi dengan orang lain dengan baik
dan proporsional dan juga mampu mengendalikan diri dari nafsu yang
liar. Apabila ditelusuri dengan seksama orang-orang yang
mampu berinteraksi dengan orang lain dengan baik dan mampu mengendalikan
diri tersebut memiliki “pengetahuan tentang diri”,baik diri sendiri
maupun orang lain yang disebut juga “konsep diri yang positif”
Alkisah
bertanyalah seorang awam kepada ahli filsafat yang arif bijaksana,”Coba
sebutkan kepada saya beberapa jenis manusia yang terdapat dalam
kehidupan ini berdasarkan pengetahuannya!”
Filsuf itu menarik nafas panjang dan berpantun :
Ada orang yang tahu ditahunya
Ada orang yang tahu ditidaktahunya
Ada orang yang tidak tahu ditahunya
Ada orang yang tidak tahu di tidaktahunya
“Bagaimanakah
caranya agar saya mendapatkan pengetahuan yang benar?” sambung orang
awam itu; penuh hasrat dalam ketidaktahuannya itu.
“Mudah saja,”jawab filsuf itu, ketahuilah apa yang kau tahu dan ketahuilah apa yang kau tidak tahu.
Imam Al-Ghozali mengelompokkan jenis-jenis manusia menjadi empat :
1.Orang yang tidak menyadari bahwa dirinya tidak tahu.
2. Orang yang tidak menyadari bahwa dirinya tahu.
3.Orang yang menyadari bahwa dirinya tidak tahu.
4.Orang yang menyadari bahwa dirinya tahu
Seperti apakah orang yang tidak menyadari bahwa dirinya tidak tahu tersebut? Yakni
orang-orang yang benar-benar tidak tahu berbagai permasalahan seperti
ekonomi,politik, sosial, pengajaran agama serta fenomena yang berkembang
dan tentunya juga tidak tahu mengapa hal tersebut terjadi. Celakanya
lagi ia tidak menyadari bahwa dirinya tidak tahu hal itu. Biasanya
orang seperti itu biasanya justru menyombongkan diri,berlagak dan
tentunya memiliki sifat keras kepala dan egoisme. Orang yang termasuk
jenis pertama ini benar-benar akan sulit dididik apalagi mengembangkan
diri sendiri.
Sedangkan
orang yang tidak menyadari bahwa dirinya tahu adalah orang yang tahu
tentang sejumlah hal seperti ekonomi,politik,ketrampilan,ahli matema
tika dan bahkan bisa menghasilkan karya-karya menarik namun mereka tidak
mampu mengkomunikasikan dan memanfaatkan prestasi-prestasi yang yang dimilikinya itu. Orang Indonesia banyak yang termasuk jenis ini. Orang-orang
yang termasuk jenis ini mungkin memiliki IQ tinggi tetapi lemah dalam
kesadaran dirinya sendiri atau terhadap orang lain. Dengan kata lain ia
tidak memiliki inteligensi emosional (IE) yangnmemadai .
Lalu apakah Inteligensi Emosional itu ?
Inteligensi Emosional adalah kemampuan untuk melihat,mengamati, mengenali, bahkan untuk mempertanyakan tentang diri sendiri. Who am I ? Siapakah
aku ini sesungguhnya?.Jika anak-anak dalam usia yang relatif dini sudah
bertanya kepada orangtuanya ,berkenaan dengan dirinya sendiri;
bagaimana saat bayi,mulai berjalan,apa kesukaannya dan bicara tentang rencana dan keinginannya,hal itu menandakan kecerdasan emosional yang dimilikinya. Lebih-lebih
jika anak-anak itu mampu menahan amarah dan kekesalannya, masih dalam
batas kata-kata dan sikap argumentatif tentu hal itu sesungguhnya
menandakan kematangan jiwanya.
Realitas
sekarang adanya perkelahian antar pelajar, kenakalan, kriminalitas dan
bahkan pembunuhan yang terjadi dikalangan mereka adalah tanda dari
ketidakmatangan emosi. Kemarahan yang meledak menjadi tawuran pelajar, seringkali berawal dari suatu ketidaksengajaan yang sepele. Begitu
dirinya dipengaruhi oleh dendam,maka kejernihan pikiran menjadi lenyap
dan terjadilah malapetaka yang merenggut masa depannya.
Selama ini kita selalu mengedepankan IQ sebagai faktor penentu kesuksesan. Ternyata berdasarkan hasil penelitian IQ hanya memberi kontribusi 20% sebagai faktor penentu kesuksesan hidup, sedangkan 80% selebihnya faktor lainnya termasuk EQ. Perbandingan antara IQ dengan EQ sbagaimana dikemukakan dalam tradisi sufi,ibaratnya seperti kuda dan penunggangnya. Jika harus memilih, biarkanlah kudanya yang buta asalkan
penunggangnya dapat melihat daripada penunggangnya yang buta, yang
akibatnya dapat tersesat atau terperosok ke dalam jurang. Artinya jika dihadapkan pada keadaan atau pilihan yang pelik, seseorang harus mengutamakan EQ daripada IQ. Adalah tidak mungkin dapat terjadi bahwa seseorang memehami orang lain tanpa memahami dirinya terlebih dahulu.
Daniel
Goleman mengangkat kasus yang sangat tragis berkenaan dengan orang yang
IQ nya tinggi tetapi sebaliknya EQ nya sangat rendah, yang merupakan
tipe-tipe akademisi murni. Adalah seorang murid SMU yang cerdas, Jason H namanya. Ia memiliki cita-cita untuk memasuki universitas Harvard. Akan
tetapi, kata Goleman, karena Pologruto guru fisikanya memberi nilai 80
kepada Jason dalam suatu test, akibatnya menjadi sangat fatal. Jason
beranggapan bahwa dengan nilai tersebut ia akan terhalang untuk
memasuki fakultas kedokteran, karena itu dengan pisau dapur ia tusuk
guru fisikanya tersebut. Dapatlah dibayangkan apalah jadinya.
Apakah
dengan penusukan tersebut Jason dapat memasuki fakultas kedokteran yang
didambakannya itu? Jelas tidak, karena ia justru harus lebih banyak
berurusan dengan aparat. Disinilah seperti dikatakan oleh Goleman, yang
“pintar” itu berubah menjadi “bodoh”, karena yang diupayakan begitu lama, seperti belajar dan mendisiplinkan diri agar meraih apa yang dicita-citakn, hancur berantakan karena ketidakmampuannya dalam mengendalikan diri(nafsu) sendiri.
Model sekolah-sekolah di Indonesia kurang mengajari pada siswanya untuk merenungkan diri atau merenungkan arti kehidupan itu sendiri. Bahkan untuk disiplin keilmuan yang dekat dengan persoalan ini misalnya
Fakultas
pendidikan dan psikologi juga tidak serius memperhatikan hal ini.
Psikologi yang diajarkan tak lebih dari suatu transfer informasi dan
ketika tiadak memiliki paradigma kehidupan maka kitapun tak lebih dari
sekedar meniru. Itulah mengapa selama lima puluh tahun
Indonesia merdeka justru kita mengalami kesulitan menemukan pemimpin
atau birokrat yang punya jiwa kepahlawanan,yang gigih dalam berjuang dan
berkorban.
Manusia yang tidak memiliki pengetahuan tentang diri pastilah akan menjadi manusia-manusia yang kerdil. Bentuk lain dari rendahnya kecerdasan emosional itu tercermin dalam”dunia pengangguran” yang menghantui kalangan akademis. Kebanyakan lulusan
sekolah atau perguruan tinggi di Indonesia berfikir linier,yakni begitu
ia telah lulus yang terdapat dalam benaknya hanyalah mencari kerja ke
kantor-kantor pemerintah atau swasta. Mereka tidak memiliki improvisasi terhadap kemampuannya sendiri untuk menciptakan alternatif.
Inteligensi
emosional pengaruhnya besar terhadap kesuksesan hidup seseorang, sudah
sewajarnya perlu menyiapkan sejak masa anak-anak untuk mencapai
kecerdasan emosional pada kadar yang tinggi. Kecerdasan emosional tidaklah berkembang secara alamiah, artinya seseorang tidak dengan sendirinya memiliki kematangan EQ semata-mata didasarkan pada perkembangan usia biologisnya melainkan tergantung pada proses pelatihan dan pendidikan yang kontinu. Disinilah orang
tua, pihak sekolah atau lembaga pendidikan dan orang yang lebih dewasa
dapat mengambil peran untuk menumbuhkan dan memupuk intelegensi
emosional anak-anak kita, anak bangsa penerus generasi mendatang.
Bagaimana caranya mewujudkan dan melejitkan kecerdasan emosional pada anak kita?
1. Anak diberi kesempatan untuk mengekspresikan diri; mengartikulasikan ide, gagasan atau pendapat dan mengkomunikasikan kepada orang lain. Biarkan
anak bermain dengan teman sebayanya, berdialog dengan mereka sehingga
terbiasa mengemukakan pendapatnya, ide atau sikapnya tentang sesuatu.
2. Membelajari anak hidup berorganisasi dan bersosialisasi untuk mengembangkan dialek kedirian dan pematangan baik emosi atau intelek pada anak-anak kita. Jika
usianya relatif matang dorong mereka untuk mengikuti kehidupan
berorganisasi seperti remaja masjid, pramuka, palang merah remaja (PMR) ,
OSIS, kelompok karya ilmiah remaja (KKIR)dan kelompok ekskul
disekolahnya. Kehidupan berorganisasi menyajikan menu bagi
jiwa manusia untuk saling mengenal, bertukar pikiran, membentuk
kerjasama,bahkan memecahkan konflik-konflik yang terjadi dengan cara
diplomasi atau diskusi.
3. Memberikan reward atau pujian kepada
prestasi anak dengan porsi yang tepat, tidak menghardik atau mencemooh
pada saat anak belum menunjukkan kemampuannya seperti yang diharapkan. Memotivasi
anak agar senantiasa memiliki daya juang tinggi dan pantang menyerah
untuk meraih cita-citanya tetapi juga selalu memberikan hiburan kalau
anak belum berhasil meraih keinginan yang telah diperjuangkan untuk
membiasakan agar anak terlatih menerima kekalahan.
4. Membantu menyalurkan minat dan bakat anak pada kegiatan yang positif. Pada masa pertumbuhan anak-anak kita memiliki kelebihan energi yang harus disalurkan. Apabila tidak tersalurkan atau tersumbat maka akan menekan dan meledak sewaktu-waktu tanpa kita perkirakan sebelumnya. Orang
tua yang bijak hendaknya memahami kelebihan-kelebihan pada diri
anak-anaknya dan senantiasa membantu mereka menyalurkan bakat dan
minatnya.
Semoga sajian ide ini dapat memberi manfaat untuk melejitkan inteligensi emosional generasi penerus bangsa ini.dh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar