7/16/2013

Makna Baru Inteligensi Emosional

Ada tiga hal yang apabila dilakukan akan dilindungi Allah dalam pemeliharaan-Nya,ditaburi Rahmat-Nya dan dimasukkan ke dalam syurga-Nya,yaitu apabila diberi,ia berterima kasih,apabila berkuasa ia suka memaafkan dan apabila marah ia menahan diri (mampu menguasai diri). Hadits Riwayat Hakim dan Ibnu Hibban

Kutipan hadist di atas adalah cermin dari seseorang yang dalam istilah psikologi pendidikan dapat disebut sebagai seseorang yang mempunyai kecerdasan emosional.Ia mampu berinteraksi dengan orang lain dengan baik dan proporsional dan juga mampu mengendalikan diri dari nafsu yang liar. Apabila ditelusuri dengan seksama orang-orang yang mampu berinteraksi dengan orang lain dengan baik dan mampu mengendalikan diri tersebut memiliki “pengetahuan tentang diri”,baik diri sendiri maupun orang lain yang disebut juga “konsep diri yang positif”
Alkisah bertanyalah seorang awam kepada ahli filsafat yang arif bijaksana,”Coba sebutkan kepada saya beberapa jenis manusia yang terdapat dalam kehidupan ini berdasarkan pengetahuannya!”
Filsuf itu menarik nafas panjang dan berpantun :
Ada orang yang tahu ditahunya
Ada orang yang tahu ditidaktahunya
Ada orang yang tidak tahu ditahunya
Ada orang yang tidak tahu di tidaktahunya
“Bagaimanakah caranya agar saya mendapatkan pengetahuan yang benar?” sambung orang awam itu; penuh hasrat dalam ketidaktahuannya itu.
“Mudah saja,”jawab filsuf itu, ketahuilah apa yang kau tahu dan ketahuilah apa yang kau tidak tahu.
Imam Al-Ghozali mengelompokkan jenis-jenis manusia menjadi empat :
1.Orang yang tidak menyadari bahwa dirinya tidak tahu.
2. Orang yang tidak menyadari bahwa dirinya tahu.
3.Orang yang menyadari bahwa dirinya tidak tahu.
4.Orang yang menyadari bahwa dirinya tahu
Seperti apakah orang yang tidak menyadari bahwa dirinya tidak tahu tersebut? Yakni orang-orang yang benar-benar tidak tahu berbagai permasalahan seperti ekonomi,politik, sosial, pengajaran agama serta fenomena yang berkembang dan tentunya juga tidak tahu mengapa hal tersebut terjadi. Celakanya lagi ia tidak menyadari bahwa dirinya tidak tahu hal itu. Biasanya orang seperti itu biasanya justru menyombongkan diri,berlagak dan tentunya memiliki sifat keras kepala dan egoisme. Orang yang termasuk jenis pertama ini benar-benar akan sulit dididik apalagi mengembangkan diri sendiri.
Sedangkan orang yang tidak menyadari bahwa dirinya tahu adalah orang yang tahu tentang sejumlah hal seperti ekonomi,politik,ketrampilan,ahli matema tika dan bahkan bisa menghasilkan karya-karya menarik namun mereka tidak mampu mengkomunikasikan dan memanfaatkan prestasi-prestasi yang yang dimilikinya itu. Orang Indonesia banyak yang termasuk jenis ini. Orang-orang yang termasuk jenis ini mungkin memiliki IQ tinggi tetapi lemah dalam kesadaran dirinya sendiri atau terhadap orang lain. Dengan kata lain ia tidak memiliki inteligensi emosional (IE) yangnmemadai .
Lalu apakah Inteligensi Emosional itu ?
Inteligensi Emosional adalah kemampuan untuk melihat,mengamati, mengenali, bahkan untuk mempertanyakan tentang diri sendiri. Who am I ? Siapakah aku ini sesungguhnya?.Jika anak-anak dalam usia yang relatif dini sudah bertanya kepada orangtuanya ,berkenaan dengan dirinya sendiri; bagaimana saat bayi,mulai berjalan,apa kesukaannya dan bicara tentang rencana dan keinginannya,hal itu menandakan kecerdasan emosional yang dimilikinya. Lebih-lebih jika anak-anak itu mampu menahan amarah dan kekesalannya, masih dalam batas kata-kata dan sikap argumentatif tentu hal itu sesungguhnya menandakan kematangan jiwanya.
Realitas sekarang adanya perkelahian antar pelajar, kenakalan, kriminalitas dan bahkan pembunuhan yang terjadi dikalangan mereka adalah tanda dari ketidakmatangan emosi. Kemarahan yang meledak menjadi tawuran pelajar, seringkali berawal dari suatu ketidaksengajaan yang sepele. Begitu dirinya dipengaruhi oleh dendam,maka kejernihan pikiran menjadi lenyap dan terjadilah malapetaka yang merenggut masa depannya.
Selama ini kita selalu mengedepankan IQ sebagai faktor penentu kesuksesan. Ternyata berdasarkan hasil penelitian IQ hanya memberi kontribusi 20% sebagai faktor penentu kesuksesan hidup, sedangkan 80% selebihnya faktor lainnya termasuk EQ. Perbandingan antara IQ dengan EQ sbagaimana dikemukakan dalam tradisi sufi,ibaratnya seperti kuda dan penunggangnya. Jika harus memilih, biarkanlah kudanya yang buta asalkan penunggangnya dapat melihat daripada penunggangnya yang buta, yang akibatnya dapat tersesat atau terperosok ke dalam jurang. Artinya jika dihadapkan pada keadaan atau pilihan yang pelik, seseorang harus mengutamakan EQ daripada IQ. Adalah tidak mungkin dapat terjadi bahwa seseorang memehami orang lain tanpa memahami dirinya terlebih dahulu.
Daniel Goleman mengangkat kasus yang sangat tragis berkenaan dengan orang yang IQ nya tinggi tetapi sebaliknya EQ nya sangat rendah, yang merupakan tipe-tipe akademisi murni. Adalah seorang murid SMU yang cerdas, Jason H namanya. Ia memiliki cita-cita untuk memasuki universitas Harvard. Akan tetapi, kata Goleman, karena Pologruto guru fisikanya memberi nilai 80 kepada Jason dalam suatu test, akibatnya menjadi sangat fatal. Jason beranggapan bahwa dengan nilai tersebut ia akan terhalang untuk memasuki fakultas kedokteran, karena itu dengan pisau dapur ia tusuk guru fisikanya tersebut. Dapatlah dibayangkan apalah jadinya.
Apakah dengan penusukan tersebut Jason dapat memasuki fakultas kedokteran yang didambakannya itu? Jelas tidak, karena ia justru harus lebih banyak berurusan dengan aparat. Disinilah seperti dikatakan oleh Goleman, yang “pintar” itu berubah menjadi “bodoh”, karena yang diupayakan begitu lama, seperti belajar dan mendisiplinkan diri agar meraih apa yang dicita-citakn, hancur berantakan karena ketidakmampuannya dalam mengendalikan diri(nafsu) sendiri.
Model sekolah-sekolah di Indonesia kurang mengajari pada siswanya untuk merenungkan diri atau merenungkan arti kehidupan itu sendiri. Bahkan untuk disiplin keilmuan yang dekat dengan persoalan ini misalnya
Fakultas pendidikan dan psikologi juga tidak serius memperhatikan hal ini. Psikologi yang diajarkan tak lebih dari suatu transfer informasi dan ketika tiadak memiliki paradigma kehidupan maka kitapun tak lebih dari sekedar meniru. Itulah mengapa selama lima puluh tahun Indonesia merdeka justru kita mengalami kesulitan menemukan pemimpin atau birokrat yang punya jiwa kepahlawanan,yang gigih dalam berjuang dan berkorban.
Manusia yang tidak memiliki pengetahuan tentang diri pastilah akan menjadi manusia-manusia yang kerdil. Bentuk lain dari rendahnya kecerdasan emosional itu tercermin dalam”dunia pengangguran” yang menghantui kalangan akademis. Kebanyakan lulusan sekolah atau perguruan tinggi di Indonesia berfikir linier,yakni begitu ia telah lulus yang terdapat dalam benaknya hanyalah mencari kerja ke kantor-kantor pemerintah atau swasta. Mereka tidak memiliki improvisasi terhadap kemampuannya sendiri untuk menciptakan alternatif.
Inteligensi emosional pengaruhnya besar terhadap kesuksesan hidup seseorang, sudah sewajarnya perlu menyiapkan sejak masa anak-anak untuk mencapai kecerdasan emosional pada kadar yang tinggi. Kecerdasan emosional tidaklah berkembang secara alamiah, artinya seseorang tidak dengan sendirinya memiliki kematangan EQ semata-mata didasarkan pada perkembangan usia biologisnya melainkan tergantung pada proses pelatihan dan pendidikan yang kontinu. Disinilah orang tua, pihak sekolah atau lembaga pendidikan dan orang yang lebih dewasa dapat mengambil peran untuk menumbuhkan dan memupuk intelegensi emosional anak-anak kita, anak bangsa penerus generasi mendatang.
Bagaimana caranya mewujudkan dan melejitkan kecerdasan emosional pada anak kita?
1. Anak diberi kesempatan untuk mengekspresikan diri; mengartikulasikan ide, gagasan atau pendapat dan mengkomunikasikan kepada orang lain. Biarkan anak bermain dengan teman sebayanya, berdialog dengan mereka sehingga terbiasa mengemukakan pendapatnya, ide atau sikapnya tentang sesuatu.
2. Membelajari anak hidup berorganisasi dan bersosialisasi untuk mengembangkan dialek kedirian dan pematangan baik emosi atau intelek pada anak-anak kita. Jika usianya relatif matang dorong mereka untuk mengikuti kehidupan berorganisasi seperti remaja masjid, pramuka, palang merah remaja (PMR) , OSIS, kelompok karya ilmiah remaja (KKIR)dan kelompok ekskul disekolahnya. Kehidupan berorganisasi menyajikan menu bagi jiwa manusia untuk saling mengenal, bertukar pikiran, membentuk kerjasama,bahkan memecahkan konflik-konflik yang terjadi dengan cara diplomasi atau diskusi.
3. Memberikan reward atau pujian kepada prestasi anak dengan porsi yang tepat, tidak menghardik atau mencemooh pada saat anak belum menunjukkan kemampuannya seperti yang diharapkan. Memotivasi anak agar senantiasa memiliki daya juang tinggi dan pantang menyerah untuk meraih cita-citanya tetapi juga selalu memberikan hiburan kalau anak belum berhasil meraih keinginan yang telah diperjuangkan untuk membiasakan agar anak terlatih menerima kekalahan.
4. Membantu menyalurkan minat dan bakat anak pada kegiatan yang positif. Pada masa pertumbuhan anak-anak kita memiliki kelebihan energi yang harus disalurkan. Apabila tidak tersalurkan atau tersumbat maka akan menekan dan meledak sewaktu-waktu tanpa kita perkirakan sebelumnya. Orang tua yang bijak hendaknya memahami kelebihan-kelebihan pada diri anak-anaknya dan senantiasa membantu mereka menyalurkan bakat dan minatnya.
Semoga sajian ide ini dapat memberi manfaat untuk melejitkan inteligensi emosional generasi penerus bangsa ini.dh

Tidak ada komentar:

Posting Komentar